HMPS Tadris IPS Gelar Seminar "Telaah RUU Kesehatan: Mengkaji Tembakau dari Berbagai Perspektif"

Blog Single

Kampus - Publik digegerkan dengan kehadiran RUU Omnibus Law Kesehatan utamanya pada pasal 154 tentang pengaturan pengamanan zat adiktif yang memasukkan hasil olahan tembakau, narkotika, psikotropika, dan minuman alkohol dalam deretan jenis zat adiktif. Dalam hal ini HMPS Tadris IPS turut gelar seminar "Telaah RUU Kesehatan: Mengkaji Tembakau dari Berbagai Perspektif" dengan dua narasumber yakni Dr. H. Kisbiyanto, S.Ag, M.Pd. (Wakil Rektor III sekaligus Sekretaris PCNU) dan Ir. Agus Sarjono (Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus). Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung PKM IAIN Kudus, Sabtu (17/6/2023).

Sekretaris PCNU Kabupaten Kudus, Kisbiyanto menyebutkan bahwa tembakau ditinjau dari berbagai perspektif itu tidak dilarang. Bahkan di kalangan warga Nahdliyin, persoalan tembakau ini sudah banyak kajian hukumnya.

Hukum tertinggi dari rokok itu masih sebatas makruh yaitu dilakukan boleh dan jika tidak dilakukan mendapatkan pahala.

"Dalam fikih hukum tertingi rokok itu makruh. Itupun yang makruh adalah merokoknya bukan rokoknya. Kalau memproduksi rokoknya ya dalam hukum itu mubah (boleh)," tuturnya.

Sekurang-kurangnya dilihat dari perspektif hukum agama Islam, tembakau ini bukan bahan yang dilarang apalagi disamakan dengan zat adiktif.

"Sesuatu yang boleh dan tidak ada hukum yang melarang, kenapa harus dilarang," tegasnya.

Selanjutnya dalam pemaparan materi oleh Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) menyatakan hal yang senada dengan sekretaris PCNU bahwa rokok itu hukumnya mubah (boleh), tidak mungkin rokok itu haram karena Indonesia itu populasi penduduk Islam terbanyak di dunia dengan 60% Nahdliyin.

"Indonesia ini populasi dengan penduduk Islam terbanyak di dunia, 60% itu nahdiyin yang madzhabnya imam syafii, imam syafii itu memperbolehkan merokok," paparnya.

Sebagai suatu pemikiran terbalik dan suatu perspektif lain dari sebuah narasi perubahan tentang RUU Omnibuslaw, Ketua PPRK menyebutkan keharaman narkoba malah bisa jadi direduksi.

Dalam restoratif justice pembinaan para pemakai narkoba, pemerintah harus menyediakan narkoba setiap dari sejumlah narkoba sesuai dengan yang dibutuhkan oleh orang yang dibina agar tidak sakau. Mereka yang memakai narkoba jika tidak dikasih narkoba sekali akan mati 1x24jam. Maka dalam Restoratif Justice itu dikurangi dosisnya sedikit demi sedikit sampai dia lepas dari ketergantungan.

"Bisa saja dalam restoratif justice inikan di suplai terus, justru yang saya pikirkan itu yang lebih bahaya mereka bakal mereduksi keharaman narkoba, bahkan pada awal bulan mei ladang ganja sudah dilegalkan di Thailand, yang kurang sedikit saja bisa sampai di Indonesia," pungkasnya.

Share this Post1: